Blog lainnya

Translate

Minggu, 06 Desember 2015

Paku Kemarahan

Paku Kemarahan Saudara sekalian, kisah inspiratif kepemimpinan kali ini mengajak kita untuk merenungkan betapa kata-kata yang kita ucapkan, sungguh memiliki makna yang dalam bagi orang lain. Untuk itu kita mengangkat cerita tentang paku yang meninggalkan bekas. Seorang anak bertanya kepada bapaknya, “Pak, apakah arti marah itu?” Maka sang bapak dengan bijaksana mengatakan kepada anaknya, “Baik sekarang kamu ambil sebuah palu dan beberapa paku dan mari kita pergi ke belakang rumah.” Dan mereka berdua pergi ke halaman belakang rumah mereka yang pagarnya terbuat dari kayu. Bapak ini mengatakan kepada anaknya, “Mulai hari ini setiap kamu marah, tolong kamu tancapkan satu paku dengan menggunakan palu yang ada ini.” “Loh apakah itu marah, pak?” “Ya coba kamu lakukan dulu setiap hari, setiap hari, nanti setelah beberapa hari kita akan ketemu kembali untuk melihat apakah arti marah itu yang sebenarnya.” Bagi si anak ini suatu pekerjaan yang menantang sekaligus juga merasa berbahagia dengan mendapat tugas yang begitu mudah ini. Maka setiap pulang sekolah, begitu dia marah, di sekolah dia ingat, dia langsung pergi ke belakang halaman rumahnya dan dia mulai menancapkan paku tersebut. Setiap dia marah dengan adiknya, dia tancapkan paku itu. Setiap dia marah dengan orang tuanya, dengan ibunya atau dengan ayahnya, dia tancapkan paku tersebut. Minggu lepas minggu dan sampai kepada akhir bulan, dia kembali bertanya kepada bapaknya. “Pak, saya sudah menancapkan kurang lebih 40 paku disini. Tapi bapak belum menjelaskan apakah arti marah tersebut. Apakah marah itu berarti saya menancapkan paku? Atau bagaimana?” Sang bapak tidak menjawab. Dan dia mengatakan kepada anaknya, “Baik. Sekarang setiap kamu bisa menyelesaikan amarahmu, menyelesaikan konflikmu dengan orang lain, yang sempat membuat dirimu marah atau membuat dia marah, kamu cabut paku tersebut.” “Hanya itu, pak?” “Ya. Hanya itu. Nanti kita akan ketemu lagi.” Bagi si anak, ini suatu pekerjaan yang tidak sulit. Maka semua orang yang pernah ribut dengan dia dalam marah, dia mulai minta maaf dan mereka mulai berteman kembali. Setiap dia bisa menyelesaikan masalahnya dengan orang lain, dia cabut paku yang menancap. Setiap dia menyelesaikan masalahnya, dia cabut paku yang menancap tersebut. Tidak sampai satu bulan, Saudaraku, paku-paku tersebut sudah habis semua dicabut, yang berarti bahwa anak ini sudah bisa menyelesaikan masalahnya. Kemudian dia datang kepada bapaknya. “Mari, pak. Coba kita lihat di pagar kayu yang di belakang itu, semua paku sudah tercabut.” Dan bapaknya dengan tersenyum mengatakan kepada si anak, “Baik, kita akan lihat.” Dan mereka melihat prestasi si anak tersebut yang sudah menancapkan 40 paku dalam waktu hampir satu bulan dan mencabutinya kurang lebih dua minggu. Dan si anak bertanya. “Saya sudah melakukan semua ini, pak, hampir dua bulan, tapi bapak belum menjelaskan apa arti marah.” Maka dengan tersenyum bapak ini mengatakan kepada anaknya, “Begitu kamu marah kepada orang lain, itu ibarat kamu menancapkan paku ini ke dalam hatinya. Dan begitu kamu menyelesaikan konflik dan marahmu dengan orang itu, maka itu ibarat kita mencabut kembali paku tersebut dari dalam dirinya, sebagai tanda bahwa permasalahan kita sudah selesai. Namun coba perhatikan, anakku. Paku sudah ditancapkan, paku sudah dicabut, apa yang tinggal?” Si anak itu dengan tertegun sambil berucap, “Bekasnya.” Maka sang bapak mengatakan, “Begitulah kalau kita marah. Kita bisa marah kepada orang dan dalam sekejap kita juga bisa meminta maaf. Kita bisa memeluk dia. Bahkan mungkin kita bisa memberikan sesuatu sebagai tanda permohonan maaf. Tapi bekas yang sudah kita buat akan sulit sekali lekat. Itulah arti marah yang sesungguhnya.” Saudara sekalian, menjadi pemimpin bukan berarti tidak boleh marah. Menjadi pemimpin, kita boleh menegur, kita boleh marah kepada orang yang dipimpin. Namun marah dan menegur orang yang dipimpin, mencerminkan kematangan perilaku, kematangan emosi yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Itu sebabnya beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika seorang pemimpin marah. Ketika dia marah jangan menegur atau memarahi pribadi orang tersebut tapi koreksilah pekerjaannya dan apa yang dikerjakannya. Ketika seorang pemimpin marah dan menegur orang lain, lakukanlah itu di bawah empat mata. Artinya tidak dilakukan di depan umum. Ketika seorang pemimpin menegur orang lain, lakukanlah itu segera setelah dia melakukan kesalahan. Dan ketika seorang menegur atau memarahi orang lain, jangan mengungkit-ungkit kembali. Apa yang kita ucapkan akan memiliki bekas yang baik atau bekas yang buruk. Dan bekas yang buruk ini akan memberikan trauma bagi seseorang. Jadi, setiap ucapan yang kita lontarkan, sebaiknya kita pertimbangkan. Karena ini menyangkut bagaimana perasaan orang lain terhadap kita. Jadilah pemimpin yang bijak, yang memikirkan apa yang akan diucapkan, yang mempertimbangkan apa yang akan dilakukan, akan memiliki bekas yang baik kepada pengikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar