Blog lainnya

Translate

Kamis, 15 Maret 2012

Kunci Surga Itu Bernama Kesetiaan

Pada suatu hari, Fathimah Radhiyallahu ‘anha (RA) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah perempuan yang akan masuk surga pertama kali. Rasulullah menjawab, ”Seorang wanita yang bernama Mutiah.”

Tentu saja Fathimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa orang lain, padahal dia adalah putri Nabi?

Timbullah keinginan untuk mengetahui siapakah Mutiah itu. Apa gerangan yang diperbuatnya sampai mendapat kehormatan yang begitu tinggi?

Sesudah meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib RA, Fathimah berangkat mencari rumah Mutiah. Putranya yang masih kecil, Hasan, menangis ingin ikut. Maka digandengnya Hasan.

Tiba di depan rumah yang dituju, Fathimah mengetuk pintu, “Assalaamu’alaikum…!”

“Wa’alaikumsalaam. Siapa di luar?” terdengar jawaban dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.

“Saya Fathimah, putri Rasulullah.”

“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini. Fathimah sudi berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam, terdengar lebih gembira, dan makin mendekat ke pintu.

“Sendirian Fathimah?” tanya Mutiah.

“Aku ditemani Hasan.”

“Aduh, maaf ya,” suara itu seperti menyesal. “Saya belum mendapat izin untuk menemui tamu laki-laki.”

“Tapi Hasan masih kecil.”

“Meski kecil, Hasan laki-laki. Besok saja datang lagi, saya akan minta izin kepada suami saya.”

Sambil menggeleng-nggelengkan kepala, Fathimah akhirnya minta permisi.

Besoknya ia datang lagi. Kali ini Husain, adik Hasan, diajak juga. Bertiga dengan anak-anak yang masih kecil itu, Fathimah mendatangi rumah Mutiah.

Setelah memberi salam dan dijawab gembira, Mutiah bertanya dari dalam, “Jadi dengan Hasan? Suami saya sudah memberi izin.”

“Ya, dengan Hasan dan Husain.”

“Ha! Mengapa tidak bilang dari kemarin? Yang dapat izin cuma Hasan, Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerima juga.”

Lagi-lagi Fathimah gagal bertemu.

Esok harinya barulah mereka disambut baik-baik oleh Mutiah. Keadaan rumah itu sangat sederhana. Tidak ada satu pun perabot mewah, namun semuanya teratur rapi.

Ada tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar namun tampak bersih. Alasnya putih, agaknya baru dicuci. Bau di dalam sangat segar. Membuat orang betah tinggal berlama-lama.

Fathimah kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu. Hasan dan Husain pun yang biasanya kurang begitu senang berada di rumah orang, kali ini tampak asyik bermain-main.

“Maaf, saya tidak bisa menemani Fathimah duduk, sebab saya sedang menyiapkan makan buat suami saya,“ kata Muthiah sambil sibuk di dapur.

Mendekati tengah hari, masakan itu sudah rampung. Mutiah menatanya di atas nampan. Juga, menaruh cambuk.

Fathimah bertanya, ”Suamimu kerja di mana?”

“Di ladang.”

“Penggembala?”

“Bukan. Bercocok tanam.”

“Tapi mengapa kau bawakan cambuk, untuk apa?”

“Oh, itu,” Mutiah tersenyum. “Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain.”

Fathimah penasaran.

“Maksud saya begini. Kalau suami saya sedang makan, maka akan saya tanyakan apakah cocok atau tidak. Kalau dia bilang cocok, tak akan terjadi apa-apa. Tetapi kalau bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya agar punggung saya dicambuk sebab tidak bisa menyenangkan hati suami.”

“Atas kehendak suamimukah kau bawa cambuk itu?”

“Oh, sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang lembut dan pengasih. Ini semua semata-mata kehendak saya agar jangan sampai saya menjadi istri yang durhaka kepada suami.”

Usai mendengar penjelasan ini, Fathimah minta permisi. Dalam hati ia berkata, pantas ia akan masuk surga buat pertama kali. Baktinya kepada suami begitu besar dan tulus.

Kesetiaan yang Bersejarah

Bukan berarti Fathimah tidak termasuk tipikal wanita yang setia terhadap suaminya. Kesetiaan dan ketaatan buah hati Rasulullah ini kepada suami tidak diragukan lagi. Kehidupan rumah tangganya serba kekurangan, nemun kesetiaannya yang didasari keimanan dan perjuangan syiar Islam tidak luntur walau sedebu. Darah kesetiaan nampaknya mengalir deras dari ibundanya, Khadijah RA, Muslimah pertama yang mempelopori kecintaan dan kesetiaan kepada suami.

Mari kita kenang kembali peristiwa yang sungguh mendebarkan jantung Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Peristiwa itu ialah penerimaan wahyu yang pertama di Gua Hira.

Sekembalinya ke rumah, Nabi berkata kepada istrinya yang tercinta, “Aku merasa khawatir terhadap diriku.”

Saat itu Khadijah dengan segala kelembutannya berkata, “Wahai Kakanda, demi Allah, Tuhan tidak akan mengecewakanmu karena sesungguhnya Kakanda adalah orang yang selalu memupuk dan menjaga kekeluargaan, serta sanggup memikul tanggung jawab.

Kakanda dikenali sebagai penolong kaum yang sengsara, sebagai tuan rumah yang menyenangkan tamu, ringan tangan dalam memberi pertolongan, senantiasa berbicara benar dan setia kepada amanah,” tuturnya.

Apakah ada wanita lain yang dapat menyambut sedemikian baik peristiwa bersejarah yang berlaku di Gua Hira seperti yang dilakukan oleh Khadijah? Betapa besarnya kepercayaan (kesetiaan) dan kasih sayang seorang istri kepada suami yang dilandasi iman yang teguh. Sedikit pun Khadijah tidak berasa ragu-ragu di dalam hatinya.

Jika ada wanita yang berkurang kadar kesetiaannya karena alasan penghasilan dan kekayaan, maka Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal. Beliau wanita yang hidup mewah dengan hartanya sendiri. Namun semua itu dengan rela dikorbankannya untuk memudahkan tugas-tugas suaminya. Baginya, apa yang dimiliki tidak lebih mulia daripada mendukung misi suci yang diemban suaminya. Sikap inilah yang menjadi sumber kekuatan rumah tangga Rasulullah sepanjang kehidupan mereka bersama.

Khadijah begitu setia menyertai Nabi dalam setiap peristiwa suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira, beliau pasti menyiapkan segenap perbekalan dan keperluan. Seandainya Rasulullah agak lama tidak pulang, Khadijah akan mengunjungi untuk memastikan keselamatan suaminya tercinta.

Ketika Rasulullah khusyu’ bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga suaminya pulang. Apabila Nabi mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, istri teladan ini mencoba sedapat mungkin menenteramkan dan menghiburnya sehingga suaminya benar-benar merasakan ketenangan.

Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Malah dalam banyak kegiatan peribadatan Rasulullah, Khadijah pasti bersama dan membantu, misalnya menyediakan air untuk mengambil wudhu.

Kecintaan dan kesetiaan itu bukan sekadar kepada suami, namun jelas berlandaskan keyakinan yang kuat tentang keesaan Allah. Segala pengorbanan untuk suaminya adalah ikhlas untuk mencari keridhaan Allah.

Allah Maha Adil dalam memberi rahmat-Nya. Setiap amalan yang dilaksanakan makhluk-Nya dengan penuh keikhlasan, pasti mendapat ganjaran yang berkekalan.

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

Allah berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).

Janji Allah itu pasti benar. Wujud kesetiaan yang telah ditunjukkan oleh Mutiah, Fathimah, dan juga Khadijah bukan sekadar menghasilkan kekuatan yang mendorong kegigihan dan perjuangan suaminya, namun juga membawa barakah yang besar kepada rumah tangga mereka. Anak-anak yang lahir dari wanita-anita seperti ini adalah anak-anak yang shalih yang mendorong para orangtua menuju surga.

Kalaulah di zaman sekarang ini ada anggapan bahwa kesetiaan di atas merupakan lambang perbudakan pria kepada wanita, jelas itu tidak benar. Justru sebaliknya, itu merupakan cermin cinta, ketulusan, dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan perilaku yang sama dalam rangka mencari ridha-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar